Sabtu, 28 Mei 2011

kebohongan IBU yg penuh cinta

Cerita bermula ketika aku masih kecil,
aku terlahir sebagai seorang anak
perempuan di sebuah keluarga yang
sangat sederhana. Bahkan untuk
makan saja, seringkali kekurangan.
Ketika makan, ibu sering memberikan
bahagian nasinya untukku. Sambil
memindahkan nasi ke mangkukku, ibu
berkata : “Makanlah nak, aku tidak
lapar” ———-KEBOHONGAN IBU YANG
PERTAMA
Ketika saya mulai tumbuh dewasa, ibu
yang gigih sering meluangkan waktu
senggangnya untuk pergi memancing
di kolam dekat rumah, ibu berharap
dari ikan hasil pancingan, ia dapat
memberikan sedikit makanan bergizi
untuk pertumbuhan. Sepulang
memancing, ibu memasak sup ikan
yang segar dan mengundang selera.
Sewaktu aku memakan sup ikan itu,
ibu duduk disamping kami dan
memakan sisa daging ikan yang masih
menempel di tulang yang merupakan
bekas sisa tulang ikan yang aku
makan. Aku melihat ibu seperti itu, hati
juga tersentuh, lalu menggunakan
suduku dan memberikannya kepada
ibuku. Tetapi ibu dengan cepat
menolaknya, ia berkata : “Makanlah
nak, aku tidak suka makan ikan”
———-KEBOHONGAN IBU YANG KE
DUA
Sekarang aku sudah masuk Sekolah
Menengah, demi membiayai sekolah
abang dan kakakku, ibu pergi ke
koperasi untuk membawa sejumlah
kotak mancis untuk ditempel, dan hasil
tempelannya itu membuahkan sedikit
uang untuk menutupi kepentingan
hidup. Di kala musim sejuk tiba, aku
bangun dari tempat tidurku, melihat
ibu masih bertumpu pada lilin kecil dan
dengan gigihnya melanjutkan
pekerjaannya menempel kotak mancis.
Aku berkata : “Ibu, tidurlah, sudah
malam, besok pagi ibu masih harus
kerja. ” Ibu tersenyum dan berkata :
“Cepatlah tidur nak, aku tidak penat”
———-KEBOHONGAN IBU YANG KE
TIGA
Ketika ujian tiba, ibu meminta cuti kerja
supaya dapat menemaniku pergi ujian.
Ketika hari sudah siang, terik matahari
mulai menyinari, ibu yang tegar dan
gigih menunggu aku di bawah terik
matahari selama beberapa jam. Ketika
bunyi loceng berbunyi, menandakan
ujian sudah selesai. Ibu dengan segera
menyambutku dan menuangkan teh
yang sudah disiapkan dalam botol
yang dingin untukku. Teh yang begitu
kental tidak dapat dibandingkan
dengan kasih sayang yang jauh lebih
kental. Melihat ibu yang dibanjiri peluh,
aku segera memberikan gelasku untuk
ibu sambil menyuruhnya minum. Ibu
berkata : “Minumlah nak, aku tidak
haus!” ———-KEBOHONGAN IBU YANG
KE EMPAT
Setelah kepergian ayah karena sakit,
ibu yang malang harus merangkap
sebagai ayah dan ibu. Dengan
berpegang pada pekerjaan dia yang
dulu, dia harus membiayai keperluan
hidup sendiri. Kehidupan keluarga kita
pun semakin susah dan susah. Tiada
hari tanpa penderitaan. Melihat kondisi
keluarga yang semakin parah, ada
seorang pakcik yang baik hati yang
tinggal di dekat rumahku pun
membantu ibuku baik masalah besar
maupun masalah kecil. Tetangga yang
ada di sebelah rumah melihat
kehidupan kita yang begitu sengsara,
seringkali menasehati ibuku untuk
menikah lagi. Tetapi ibu yang memang
keras kepala tidak mengindahkan
nasehat mereka, ibu berkata : “Saya
tidak butuh cinta” ———-
KEBOHONGAN IBU YANG KE LIMA
Setelah aku, kakakku dan abangku
semuanya sudah tamat dari sekolah
dan bekerja, ibu yang sudah tua sudah
waktunya pencen. Tetapi ibu tidak
mahu, ia rela untuk pergi ke pasar
setiap pagi untuk jualan sedikit sayur
untuk memenuhi keperluan hidupnya.
Kakakku dan abangku yang bekerja di
luar kota sering mengirimkan sedikit
uang untuk membantu memenuhi
keperluan ibu, tetapi ibu berkeras tidak
mau menerima uang tersebut. Malahan
mengirim balik uang tersebut. Ibu
berkata : “Saya ada duit” ———-
KEBOHONGAN IBU YANG KE ENAM
Setelah lulus dari ijazah, aku pun
melanjutkan pelajaran untuk buat
master dan kemudian memperoleh
gelar master di sebuah universiti
ternama di Amerika berkat sebuah
biasiswa di sebuah syarikat swasta.
Akhirnya aku pun bekerja di syarikat
itu. Dengan gaji yang lumayan tinggi,
aku bermaksud membawa ibuku
untuk menikmati hidup di Amerika.
Tetapi ibu yang baik hati, bermaksud
tidak mahu menyusahkan anaknya, ia
berkata kepadaku : “Aku tak biasa
tinggal negara orang” ———-
KEBOHONGAN IBU YANG KE TUJUH
Setelah memasuki usianya yang tua,
ibu terkena penyakit kanser usus,
harus dirawat di hospital, aku yang
berada jauh di seberang samudera
atlantik terus segera pulang untuk
menjenguk ibunda tercinta. Aku
melihat ibu yang terbaring lemah di
ranjangnya setelah menjalani
pembedahan. Ibu yang kelihatan
sangat tua, menatap aku dengan
penuh kerinduan. Walaupun senyum
yang tersebar di wajahnya terkesan
agak kaku karena sakit yang
ditahannya. Terlihat dengan jelas
betapa penyakit itu menjamahi tubuh
ibuku sehingga ibuku terlihat lemah
dan kurus kering. Aku menatap ibuku
sambil berlinang air mata. Hatiku perit,
sakit sekali melihat ibuku dalam
keadaan seperti ini. Tetapi ibu dengan
tegarnya berkata : “Jangan menangis
anakku, Aku tidak kesakitan” ———-
KEBOHONGAN IBU YANG KE DELAPAN.
Setelah mengucapkan
kebohongannya yang kelapan, ibuku
tercinta menutup matanya untuk yang
terakhir kalinya. Dari cerita di atas,
saya percaya teman-teman sekalian
pasti merasa tersentuh dan ingin sekali
mengucapkan : “Terima kasih ibu..!”
Coba dipikir-pikir teman, sudah berapa
lamakah kita tidak menelepon ayah
ibu kita? Sudah berapa lamakah kita
tidak menghabiskan waktu kita untuk
berbincang dengan ayah ibu kita? Di
tengah-tengah aktiviti kita yang padat
ini, kita selalu mempunyai beribu-ribu
alasan untuk meninggalkan ayah ibu
kita yang kesepian. Kita selalu lupa
akan ayah dan ibu yang ada di rumah.
Jika dibandingkan dengan pasangan
kita, kita pasti lebih peduli dengan
pasangan kita. Buktinya, kita selalu
risau akan kabar pasangan kita, risau
apakah dia sudah makan atau belum,
risau apakah dia bahagia bila di
samping kita. Namun, apakah kita
semua pernah merisaukan kabar dari
orangtua kita? Risau apakah orangtua
kita sudah makan atau belum? Risau
apakah orangtua kita sudah bahagia
atau belum? Apakah ini benar? Kalau
ya, coba kita renungkan kembali lagi …
Di waktu kita masih mempunyai
kesempatan untuk membalas budi
orangtua kita, lakukanlah yang
terbaik. Jangan sampai ada kata
“ MENYESAL” di kemudian hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar